Imam Nawawi dalam Syarh Muslim, 8/56 mengatakan, “Para ulama madzhab Syafi’i mengatakan bahwa paling afdhol (utama) melakukan puasa syawal secara berturut-turut (sehari) setelah shalat ‘Idul Fithri. Namun …..…jika
tidak berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal maka seseorang
tetap mendapatkan keutamaan puasa syawal setelah sebelumnya melakukan
puasa Ramadhan.
” Oleh karena itu, boleh saja seseorang berpuasa syawal tiga
hari setelah Idul Fithri misalnya, baik secara berturut-turut ataupun
tidak, karena dalam hal ini ada kelonggaran. Namun, apabila seseorang
berpuasa syawal hingga keluar waktu (bulan Syawal) karena
bermalas-malasan maka dia tidak akan mendapatkan ganjaran puasa syawal.
Catatan: Apabila seseorang memiliki udzur (halangan)
seperti sakit, dalam keadaan nifas, sebagai musafir, sehingga tidak
berpuasa enam hari di bulan syawal, maka boleh orang seperti ini
meng-qodho’ (mengganti) puasa syawal tersebut di bulan Dzulqo’dah. Hal
ini tidaklah mengapa. (Lihat Syarh Riyadhus Sholihin, 3/466)
Tunaikanlah Qodho’ (Tanggungan) Puasa Terlebih Dahulu
Lebih baik bagi seseorang yang masih memiliki qodho’ puasa Ramadhan
untuk menunaikannya daripada melakukan puasa Syawal. Karena tentu saja
perkara yang wajib haruslah lebih diutamakan daripada perkara yang
sunnah.
Alasan lainnya adalah karena dalam hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Barang siapa berpuasa Ramadhan.”
Jadi apabila puasa Ramadhannya belum sempurna karena masih ada
tanggungan puasa, maka tanggungan tersebut harus ditunaikan terlebih
dahulu agar mendapatkan pahala semisal puasa setahun penuh.
Apabila seseorang menunaikan puasa Syawal terlebih dahulu dan masih
ada tanggungan puasa, maka puasanya dianggap puasa sunnah muthlaq (puasa
sunnah biasa) dan tidak mendapatkan ganjaran puasa Syawal karena kita
kembali ke perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi, “Barang siapa berpuasa Ramadhan.” (Lihat Syarhul Mumthi’, 3/89, 100)
Catatan: Adapun puasa sunnah selain puasa Syawal,
maka boleh seseorang mendahulukannya dari mengqodho’ puasa yang wajib
selama masih ada waktu lapang untuk menunaikan puasa sunnah tersebut.
Dan puasa sunnahnya tetap sah dan tidak berdosa.
Tetapi perlu diingat bahwa menunaikan qodho’ puasa tetap lebih utama
daripada melakukan puasa sunnah. Hal inilah yang ditekankan oleh Syaikh
Muhammad bin Sholih Al Utsaimin -semoga Allah merahmati beliau- dalam
kitab beliau Syarhul Mumthi’, 3/89 karena seringnya sebagian orang keliru dalam permasalahan ini.
Kita ambil permisalan dengan shalat dzuhur. Waktu shalat tersebut
adalah mulai dari matahari bergeser ke barat hingga panjang bayangan
seseorang sama dengan tingginya. Kemudian dia shalat di akhir waktu
misalnya jam 2 siang karena udzur (halangan).
Dalam waktu ini bolehkah dia melakukan shalat sunnah kemudian
melakukan shalat wajib? Jawabnya boleh, karena waktu shalatnya masih
lapang dan shalat sunnahnya tetap sah dan tidak berdosa.
Namun hal ini berbeda dengan puasa syawal karena puasa ini
disyaratkan berpuasa ramadhan untuk mendapatkan ganjaran seperti
berpuasa setahun penuh. Maka perhatikanlah perbedaan dalam masalah ini!
Boleh Berniat di Siang Hari dan Boleh Membatalkan Puasa Ketika Melakukan Puasa Sunnah
Permasalahan pertama ini dapat dilihat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk menemui keluarganya lalu menanyakan: “Apakah kalian memiliki sesuatu (yang bisa dimakan, pen)?” Mereka berkata, “tidak” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Kalau begitu sekarang, saya puasa.”
Dari hadits ini berarti seseorang boleh berniat di siang hari ketika melakukan puasa sunnah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga terkadang berpuasa sunnah kemudian beliau membatalkannya sebagaimana dikatakan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha dan terdapat dalam kitab An Nasa’i. (Lihat Zadul Ma’ad, 2/79)
Semoga dengan sedikit penjelasan ini dapat mendorong kita melakukan
puasa enam hari di bulan Syawal, semoga amalan kita diterima dan
bermanfaat pada hari yang tidak bermanfaat harta dan anak kecuali yang
menghadap Allah dengan hati yang bersih.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa
shallallaahu ‘alaa nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shohbihi wa
sallam.
5 Syawal 1428 H (Bertepatan dengan 17 September 2007)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/puasa-syawal-puasa-seperti-setahun-penuh.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar